kunjungi ini...
http://elektror2.blogspot.com/2016/01/pengolahan-limbah.html http://elektror2.blogspot.com/2016/01/rangkaian-digital-dan-sistem-digital.html http://elektror2.blogspot.com/2016/01/pengertian-listrik.html http://elektror2.blogspot.com/2016/01/tabel-kebenaran.html http://elektror2.blogspot.com/2016/01/gerbang-or.html http://elektror2.blogspot.com/2016/01/plegmatis.html |
1. PENGERTIAN AS-SUNNAH DAN AL-HADITS
a) Pengertian hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga
berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara
terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan
pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi
yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah
: "Segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan
tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan
pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam
mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah,
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits,
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits,
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala
perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul,
terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu
yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan
ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya.
Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau
bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.
Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan
Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
b)
Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang
jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah,
walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda
Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang
siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah
itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk
itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R.
Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala
yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa
taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan
menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara
aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya
dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif
dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah
hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik
berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil
hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah
al-Qur'an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang
membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda
dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai
berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan
hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua
Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian
ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah
sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah
atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber
hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala
berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang
diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak.
Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila
ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau
sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan
dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang
ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna
inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut
:
"Sungguh
telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).
(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang
Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat
Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama
Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW.,
baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak.
Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri',
artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam
al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah.
Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
2. PERBEDAAN AS-SUNNAH DAN AL-HADITS
Hadits
dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber
dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Hadits sering disebut juga Assunnah dan juga
sebaliknya. Meski secara istilahi makna hadits dan assunah adalah sama, namun
ulama berbeda pendapat tentang ruang lingkup hadits dan assunah. Pendapat as
suyuti, syaf’i, madzahibul arba’ah serta beberapa ulama lainnya, seperti yang
dikutip albani dalam kitab muqoddimah ulumul hadits, bahwa hadits itu
hakikatnya sama dengan assunah, dalam semua arti. Terjadinya perbedaan istilah,
itu hanya menunjukan sifat cakupannya dapat dikatakan perbedaan alhadits dan
assunah hanya pada karakternya semata, dimana bahwa hadits lebih luas dari
Assunnah. Hadits itu bisa shohih, do’if atau maudhu’, dan memungkinkan untuk
tertolak sedang Assunah adalah hadits yang istidlal (dijadikan rujukan dalil)
oleh ulama menjadi ketetapan atau hukum. Demikian dikatakan alauza’i, ibnu
sirrin, dan albani sendiri. Tapi mereka sepakat, di antara keduanya
terdapat jalinan yang erat.
Terhadap makna yang dimaksud dengan sabda Nabi
saw. “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya.” Ulama
sepakat, yang dimaskud assunah disini adalah alhadits.
Adapun Sunnah sendiri, secara etimologis
berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam Al-Qur’an : “ Sunnata man
qad arsalna “ ( al-Isra :77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang atau
peraturan yang berlaku (33:62); Cara yang diadakan (3:137); Jalan yang
telah dijalani (8:38).
Ulama muhadditsin
sebagaimana telah ditunjukkan di awal, berpandangan bahwa sunnah dan hadits
merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering
digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi saw. Akan
tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa sunnah dan
hadits merupakan dua hal yang berbeda.
Imam Ahmad Ibn Hanbal ketika mengomentari sabda Rasulullah saw. tentang
seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram mengatakan: “dalam
hadits ini terdapat lima sunnah”. Demikian juga Aisyah ketika mengomentari
hadits tentang barirah (budak wanita) mengatakan dalam barirah terdapat
tiga sunnah.[i]
Ketika menyandarkan suatu hadits kepada Anas Ibn Malik, Abu Dawud menyatakan: “apabila
hadits itu telah disandarkan kepada Rasul, maka tentulah demikian, tetapi
menurut sunnah adalah begini”.[ii] Subhi as-Shalih mencatat, ulama
muhadditsin terkadang mengatakan: hadits ini menyalahi qiyas, sunnah, dan
ijma’.[iii]
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan secara jelas bahwa sunnah dan hadits
merupakan dua hal yang berbeda. Dalam kaitan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy
menyimpulkan bahwa hadits adalah amrun ‘ilmiyun nawadhirun: berita yang
merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun ‘amaliyun:
perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarkat Muslim walaupun mengetahuinya
memerlukan riwayat.[iv]
Senada dengan Hasbi ash-Shiddieqy, Syuhudi Ismail juga memberikan kesimpulan
yang jelas tentang perbedaan hadits dan sunnah. Ia membagi kesimpulannya
menjadi dua, pertama: bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan
periwayatannya, maka hadits berada di bawah sunnah, sebab hadits merupakan
suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun
hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang
saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi
beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi
berikutnya sampai pada kita. Kedua: sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari
segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah.[v] Meskipun keduanya berbeda, tetapi ditilik dari segi subjek yang
menjadi sumber asalnya, maka pengertian keduanya adalah sama, yakni sama-sama
berasal dari Rasulullah saw. dengan dasar inilah jumhur ulama muhadditsin
memandang identik antara sunnah dan hadits.
Menurut
Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah
ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan
di ikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang
diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui
ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
3. PERKEMBANGAN
PENGERTIAN HADITS DAN SUNNAH
a. Perkembangan
Pengertian Hadits
Istilah “hadits” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda,
perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal.
Jika diperhatikan, istilah “hadits” mengalami beberapa perkembangan pengertian
yang sangat signifikan. M. Syahudi Ismail mencatat, mula-mula hadits mengandung
pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan
masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi.[vi] Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah
kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadits
(kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.[vii]
Pada tahap selanjutnya, istilah hadits digunakan untuk menunjuk khabar
(berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni
belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa
sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad.”[viii] Dalam Hadits tersebut, Ibnu Mas’ud
mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik hadits.
Pada akhirnya, hadits digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadits-hadits
Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna hadits, yakni khusus untuk menunjuk
pada Hadits Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa
dilihat dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika
Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling
berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?”…Kemudian Rasul menjawab, “Wahai
Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang
bertanya kepadaku mengenai hadits ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku
melihat dari perhatianmu terhadap Hadits.”[ix]
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadits mengalami
perkembangan. Pada awalnya, hadit dipergunakan untuk menunjuk pada
cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran,
hadits dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat
keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya,
hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah
saw.
Mengapa pergeseran pengertian hadits ini terjadi? Mustafa Azami menjelaskan,
bahwa pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas
segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada
waktu itu. Kata hadits semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering
digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada
nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan hadits menjadi khusus
dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw.
b. Perkembangan
Pengertian Sunnah
Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah
dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal.[x] Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan
nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam
masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai
praktik yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw.
Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam as-Syafi’i, kata sunnah
dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “alif dan lam” di depannya,
yaitu tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Dan ini tidak berarti
pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi tetap digunakan dalam arti
luas. Adapun pengertian yang khusus as-Sunnah adalah tata cara dan syari’at
Rasulullah saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai
kedudukan hukum dalam syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Khon,Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadits. Cet. Ke-1. Jakarta: AMZAH
Ali, Maulana Muhammad. 1977.
Islamologi (Dinul Islam). Cet. Ke-1. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah
Suparta, Munzir. 2003. Ilmu Hadits. Cet. Ke-4. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
[iv] M. Syuhudi Ismail,
Pengantar, hlm. 7; lihat juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit.,
hlm.35
[vi] M Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 37
[viii] HR. Imam
al-Bukhari
[x] M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 37